SAMARINDA–Perkara korupsi Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan (BPHTB) Samarinda resmi bergulir perdana di Pengadilan Tipikor Samarinda, kemarin (10/7). Dari dakwaan yang dibacakan JPU Indriasari dan Sondang terungkap, uang haram hasil memanipulasi laporan BPHTB para wajib pajak (WP) dinikmati salah satu pelaku untuk pelesiran ke lima negara di Asia Tenggara.
Kasus itu menyeret dua pegawai di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dedek Yuliona, yakni Maryam Shafiyyah dan Arisandy alias Sandy. Keduanya didakwa kedua beskal dari Kejari Samarinda dengan dakwaan alternatif. Pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP di dakwaan primer, dan Pasal 3 dari UU yang sama di dakwaan subsider.
Di depan majelis hakim yang dipimpin Nugrahini Meinastiti bersama Nur Salamah dan Suprapto, dakwaan dibacakan bergantian oleh kedua beskal tersebut. Kasus memanipulasi BPHTB Samarinda terjadi sepanjang 2015–2018. Di kurun waktu itu, Kantor PPAT Dedek Yuliona mendapat permohonan lisan dari 76 WP untuk diuruskan proses pembayaran BPHTB dari transaksi jual-beli atau peralihan kepemilikan tanah.
“Permintaan para WP itu menyertakan sejumlah uang yang diperlukan untuk memproses hingga pembayaran pajak tersebut,” ungkap Sondang membaca dakwaan. Dokumen persyaratan pengurusan BPHTB yang ditangani kantor PPAT diserahkan ke terdakwa Maryam untuk diurus.
Saat memproses dokumen-dokumen BPHTB tersebut, terdakwa Maryam dibantu Arisandy memanipulasi dokumen yang nantinya dilaporkan ke Pemkot Samarinda lewat Badan Pendapatan Daerah. Manipulasi dokumen itu dilakukan dalam beragam jenis. Dari pemalsuan tandatangan para WP, memalsukan bukti bayar WP, hingga menggelembungkan harga BPHTB.
Padahal, lanjut Indri membaca, BPHTB merupakan salah satu objek pajak yang diatur dalam sebuah regulasi Samarinda. Dari Perda No 4/2011 tentang Pajak Daerah hingga Peraturan Wali Kota 7/2011 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Samarinda. “Dari dua regulasi itu ditetapkan biaya BPHTB sebesar 5 persen dari nilai transaksi jual-beli atau peralihan hak tanah,” tuturnya.
Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Kaltim, terdapat selisih sebesar Rp 1,08 miliar BPHTB yang luput masuk ke kas daerah sepanjang 2015–2018 atas perbuatan kedua terdakwa. Sejumlah uang tersebut diduga dinikmati para terdakwa secara pribadi. Salah satunya terdakwa Maryam yang menggunakan uang hasil memanipulasi laporan BPHTB para WP untuk membeli tanah, mobil, hingga gawai. “Selain itu, terdakwa juga sempat menggunakan uang untuk pelesiran ke lima negara. Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, hingga Vietnam,” beber kedua jaksa itu membaca dakwaan.
Kedua terdakwa memilih tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan yang dilayangkan para penuntut umum. Dengan begitu, majelis hakim menjadwalkan ulang persidangan untuk kembali digelar pekan depan, dengan agenda pemeriksaan saksi. (dra/k8)